Benturan Antar Kebiadaban
Oleh: MH
Rahmat*
Pembahasan mengenai peradaban
tidak bisa lepas dari akar kata “adab” yang artinya terdidik/ mendidik.
Peradaban merupakan bagian dari kebudayaan yang berkonotasi pada sesuatu yang
halus, luhur, dan bernilai tinggi. Gagasan dan sikap yang halus, bernilai
tinggi disebut dengan beradab. Demikain sebaliknya gagasan dan sikap yang
kasar, brutal adalah bernilai rendah, maka disebut biadab. Produk gagasan dan
sikap manusia yang terdidik lebih halus daripada yang tidak terdidik. Pusat
berlangsungnya aktivitas pendidikan itu sendiri berada di kota, dalam bahasa
Arabnya “madinah”.
Kota menyerap berbagai
sumberdaya unggul dari daerah-daerah. Kota merupakan kelanjutan dari desa yang
sudah berkembang dengan maju. Sedangkan desa sendiri merupakan kelanjutan dari
pola hidup nomaden (berpindah-pindah) yang kemudian menetap. Kata “madinah”
barakar dari kata “din” yang secara konvensional diartikan agama. Di
kota-kota para nabi berdakwah menyebarkan ajaran agama. Kata “madinah”
juga bisa berakar dari kata “dain” yang berarti hutang/ janji.
Masyarakat kota pada umumnya mengenal tulisan (literacy). Sebuah kota
Islam di Arab dinamakan Madinah sebab sejarah kota itu dibangun atas kontrak
sosial antara umat pengikut Muhammad dan penduduk Yatsrib yang terdiri dari
golongan Yahudi, Nasrani, Majusi yang ditulis dan ditandatangani oleh
perwakilan dari tiap-tiap golongan. Masyarakat yang sudah mengenal tulisan
merupakan ciri masyarakat yang berperadaban (tamaddun).
Tulisan merupakan pintu ilmu
pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan sendiri menjadi ukuran bagi tingkat
peradaban manusia. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan analisis semantik
antara madinah, tamaddun, din, dan dain. Tapi
tulisan ini diarahkan untuk memberikan analisis antropologis tentang peradaban
ke dalam sub-sub judul yang satu sama lain tidak harus berkorelasi. Karenanya
kehadiran data-data dari tulisan lain diharapkan akan melengkapinya sehingga
sub-sub judul berikut suatu ketika akan menjadi rangkaian yang lebih
sistematis.
Masyarakat Beradab dan
Masyarakat Biadab
Pada mulanya manusia hidup
mengembara liar, mencari makan dengan
berburu dan meramu sampai seiring berkembangnya populasi manusia, binatang
buruan dan buah-buahan yang bisa dimakan semakin tidak mencukupi. Corak
kehidupan berikutnya adalah pengembaraan dengan ternak-ternak mencari sabana/
stepa (padang rumput). Pada fase mengembara tersebut watak manusia selalu
waspada terhadap serangan kelompok lain atau binatang buas. Mereka agresif
karena tidak adanya jaminan keamanan.
Masyarakat pengembara
tersebut lebih punya keberanian dan keteguhan jiwa. Kehidupan bagi mereka
adalah arena persaingan untuk mendapatkan kemenangan, untuk merebut, untuk
menguasai wilayah. Pada masa ini penyerangan terhadap suku/ kelompok lain untuk
merebut harta benda yang dimiliki adalah tindakan yang absah dan gagah berani.
Kabilah-kabilah liar sering mendapatkan kemenangan atas kelompok yang sudah
hidup menetap. Buah kemenangan itu tidak dipelihara sebagai kekayaan yang
dilestarikan namun dirusak untuk keperluan-keperluan sesuai taraf berpikir
mereka.
Ketika pasukan liar Hulagu
Khan menggempur Baghdad kota yang direbutnya tersebut dihancurkan beserta
perpustakaan-perpustakaannya. Bangunan-bangunan dirusak untuk diambil
kayu-kayunya sebagai bahan mendirikan tenda-tenda. Baru berikutnya pada masa
keturunan Hulagu Khan yang sudah mengenal hidup menetap mendirikan sebuah kota
peradaban Dinasti Ilkhan. Hanya dengan pola hidup menetap manusia dapat
menghasilkan peradaban. Bangunan-bangunan didirikan dalam pola hidup menetap.
Sistem pertanian. Sistem pemerintahan. Kota pemerintahan. Dalam pola hidup
menetap dibentuk sistem yang melindungi suatu masyarakat dari ancaman
kedzaliman masyarakat lain. Dalam pola hidup menetap dibuat sistem yang
melindungi individu yang lemah dari kedzaliman individu yang kuat dalam
masyarakat tersebut yang menurut Tan Malaka dibentuknya pemerintahan adalah
demi mewujudkan keadilan.
Karya Sastra Peradaban Yang
Memberadabkan
Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat terdiri atas tiga wujud:
terdalam berbentuk ide/gagasan, wujud agak luar berbentuk aktivitas, wujud
paling luar berupa artefak (benda-benda). Karya sastra merupakan wujud terdalam
dari salah satu unsur kebudayaan yang bernama bahasa. Kebudayaan yang tinggi
terlihat dari karya-karyanya di bidang estetika (kesenian) yang tinggi. Karya
sastra secara umum mencakup semua hasil karya tulis.
Secara terbatas, karya sastra
adalah semua hasil karya tulis yang bernilai estetika tinggi, merupakan bentuk
perpaduan antara unsur bahasa dan
unsur kesenian. Karya sastra adalah cara
ungkap dalam bentuk simbol-simbol. Makin banyak simbol makin halus sifat suatu
bahasa. Dari situlah lahir adab dan
peradaban.
Peradaban dapat diartikan
sebagai bagian halus dari kebudayaan. Masyarakat kota disebut sebagai
orang-orang yang beradab karena mereka hidup berdasarkan standar moral
tertentu, standar moral yang lebih tinggi atau lebih kompleks. Itulah sebabnya
mereka yang terkesan kurang beradab sering pula disebut sebagai “orang desa”
atau “orang kampung” sekalipun belum tentu orang kota itu lebih beradab dari
orang desa, bahkan sebaliknya, orang kota sering juga dipandang sebagai kurang
beradab oleh orang desa.
Pramoedya Ananta Toer dalam
karyanya yang berjudul “Jalan Raya Pos Jalan Daendels” menceritakan
bahwa pada tahun 1625 Surabaya adalah kota peradaban paling maju dari seluruh
kota di Nusantara yang hancur oleh serangan raja pedalaman, yaitu Mataram yang
hanya kenal kekuasaan. Namun demikian masih ada sepercik manfaat. Surabaya
akhirnya takhluk melalui diplomasi. Putera terpenting Adipati Surabaya bernama
Pangeran Pekik disandera ke Mataram. Dialah yang membawa sastra dan tangga nada
pelog ke pedalaman Jawa Tengah tersebut.
Selanjutnya Pangeran Pekik
beserta keluarga yang telah menjadi pemberadab Mataram dibantai kerena
alasan-alasan sepele. Perkembangan kesenian pada awalnya berasal dari keraton
karena lingkungan keraton yang pertama bersentuhan dengan sastra dan tangga
nada. Ketika dunia seni berada pada
lingkungan elit keraton, ia syarat
dengan sopan santun tingkat tinggi, sangat memperhatikan kehalusan dan
keselarasan. Berikutnya ketika kesenian yang elitis itu meluas menjadi hak umum
masyarakat kelas bawah, ia mengalami pergeseran sesuai karakter masyarakat.
Terasa berkurang kehalusan dan keselarasannya. Bahkan terkadang brutal, arogan,
seperti terlihat pada fenomena dangdut/campusari yang dikoplo.
Benturan Antar Kebiadaban
Pada tahun 1999 Samuel P.
Huntington mengeluarkan Clash of Civillization. Dalam tesis ramalan yang
diterjemahkan “Benturan Antar Peradaban” itu Huntington menyebutkan ada enam
peradaban dunia yang berpotensi / rentan akan terjadi perbenturan dalam
sejarah, antara lain: peradaban Islam (Timur Tengah), Hindu (India), Kristen,
Konfusian (Cina), Shinto (Jepang), dan peradaban modern (Barat).
Tidak lama pada tahun 2001
terjadi pengeboman menara WTC di Pentagon. Kontroversi panjang terjadi
menanggapi tesis Huntington tersebut, antara propaganda dan rencana barat
menyudutkan dunia Islam, dan yang membenarkannya dengan mengangkat isu
radikalisme beragama. Terlepas dari kontroversi tesis Huntington, jika ditilik
kembali dari hakikatnya, peradaban merupakan sesuatu yang halus, bernilai moral
tinggi, maka dari dunia manapun peradaban adalah berisi sistem nilai yang
sama-sama luhur.
Sesama nilai luhur ironis
terjadi perbenturan. Kalaupun terjadi persaingan antara peradaban yang berbeda
tetapi sama-sama luhur dan benar, yang terjadi bukanlah perbenturan (clash),
melainkan saling akulturasi. Yang merasa lebih inferior akan menyerap yang
unggul. Sebenarnya suatu clash adalah suatu penyimpangan dalam
perkembangan peradaban. Perkembangan yang normal dalam suatu peradaban adalah
saling mengenal dan saling menghargai. Clash justru terjadinya adalah
antar ketidakberadaban, dengan istilah lain perbenturan terjadi antar
kebiadaban.
Tidak Ada Peradaban Paripurna
Berakhirnya perang dingin
yang ditandai dengan runtuhnya kesatuan Unisoviet yang mewakili kekuatan
Negara-negara sosialis / Blok Timur seolah menunjukkan kekuatan Blok Barat yang
beridiologi liberal kapitalis sebagai peradaban yang unggul dan akan
berlangsung tanpa akhir. Fakta berakhirnya Unisoviet tersebut dijadikan dasar
pijakan oleh Francis Fukuyama ketika menulis The End of History, karya
yang memberikan pembenaran atas kemenangan kapitalisme dan demokrasi.
Dengan berakhirnya Unisoviet,
kapitalisme dengan demokrasi sebagai perangkatnya seolah tanpa tandingan,
terlebih negara-negara Barat yang menganut demokrasi terus menunjukkan
keunggulannya dalam percaturan, demokrasi menjadi tidak terelakkan bagi
masyarakat dunia. Demokrasi menjadi mainstream.
Pembenaran yang disampai
Fukuyama terlihat sebagai kebenaran. Namun jika kita melihat kenyataan sejarah
peradaban umat manusia bahwa bangsa-bangsa dengan kejayaan peradaban selama
ribuan tahun sekalipun pada akhirnya mengalami kemunduran seperti terlihat pada
Yunani kuno dan Mesir, maka masih relevan membicarakan teori dari Oswald
Spengler yang menyebutkan bahwa setiap masyarakat berkembang melalui empat
tahap perkembangan, seperti pertumbuhan manusia, yaitu masa kanak-kanak,
remaja, dewasa, dan tua. Jika kejayaan kapitalisme dan demokrasi sekarang ini
sudah tiba pada puncaknya menurut teori tersebut ia sudah tua dan diambang
keruntuhannya.
Jika dianalis dari
kemungkinan lain berdasarkan fenomena yang berkembang sekarang, kemunduran
peradaban barat tidak harus diukur melalui keruntuhannya, tapi dapat diukur dari
dinamikanya yang terkejar oleh percepatan perkembangan masyarakat lain,
misalnya Cina, dan India. Akan terjadi susul menyusul meski dalam rentang
ratusan atau ribuan tahun. Proses tersebut berjalan secara evolusioner. Tidak
terlihat dalam rentang waktu yang pendek.
Daftar Bacaan:
- Khaldun, Ibnu, Al-Muqaddimah,
Terj: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus 2004
- Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2003
- Rahardjo, M. Dawam, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol XI th 1995
- Kuntowijoyo, Budaya dan
Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana 2006
- Toer, Pramoedya Ananta, Jalan
Raya Pos Jalan Daendels, Jakarta: Lentera Dipantara 2005
- P.Huntington, Samuel, Clash
of Civilization, Terj: M. Sadat Ismail “Benturan Antar Peradaban”, Yogyakarta:
Qalam 2004
- Francis Fukuyama, The
End of History, Jakarta: Serambi 2001.
* MH
Rahmat; Pengasuh Cagar Wacana
Demak dan
Pegiat
Jentera Semesta Kota Semarang.
Post a Comment