Header Ads

Tamasya Kearifan: Kediaman Muhammad Zuhri dan Gandrung Sastra Pati

MENIKMATI perjalanan Tamasya Kearifan kebeberapa sahabat di luar kota. Melalui perjalanan berlima yang mewakili komunitas yakni Badan Wakaf Nusantara, Komunitas Lantai Kota, Cagar Wacana, dan Jentera Semesta.

Kami yakni Adre Ungaran, Lukni Maulana, MH Rahmat, Agus Munif, Supardi Kafha dan Alwi. Jumat siang, 30 September 2016. Tak banyak titik yang kami kunjungi. Hanya empat tempat. Pertama, rumah KH Muhammad Zuhri, Desa Sekarjalak Pati. Kedua, Sanggar Gandrung Sastra, Pati. Ketiga, Rumah antikan Mbak Ida, Rembang. Keempat, sowan ke Pondok Pesantren Gus Mus, Rembang.

Kami bertolak dari Semarang pukul 09.00 dan tiba Pati pukul 11.45. Kemudian langsung menuju rumah almarhum KH Muhammad Zuhri. Tidak lama memang. Beramah-tamah sebentar dengan Ibu Romlah, istri Pak Muh, dan persis pukul 13.00 kami berpamitan.
Lantas Gandrung Sastra.
Rumah Gandrung Sastra Pati. Foto: Arif Khilwa

Benar, kami mampir ke sana dengan membuntuti sepeda motor Arif Khilwa yang telah berkenan menjemput rombongan di rumah Pak Muh. Dari pukul 13.10 sampai dengan pukul 14.15 banyak hal yang dapat kami sadap dari cafe Gandrung Sastra. Ya, serius! Banyak, teramat banyak limpahan pengetahuan sekaligus pengalaman yang kami peroleh. Terutama soal merawat benda-benda yang seakan tak berarti, tapi kali lain justru bernilai unik, langka, dan akhirnya masuk barang antik.
Kediaman Alm. Muhamamd Zuhri. Foto: Lukni
Pukul 15.30 kami singgah di rumah Ida, putri sulung almarhum sang guru, Muhammad Zuhri, di Rembang. Hmmm, lagi-lagi kami menjumpai macam barang antik. Ida dan suami serius menekuni antikan. Jual-beli barang antik. Mereka menghuni rumah yang berisi penuh barang-barang unik. Yang nyaris membuat kami kalap, kepingin memborong jam bandul dan keris-keris itu.

Kemudian bedug magrib kami merapat ke pondok KH Musthofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus. Namun sayang, kami tak berkesempatan untuk bertemu beliau. Gus Mus sedang berada di Jombang.

Setelah menunaikan salat magrib berjamaah, kami langsung meluncur ke Semarang. Kami menyusuri jalan raya pantura. Berbagi tempat dengan truk-truk besar dan bus antar propinsi. Sungguh melelahkan. Benar-benar mengundang capek, punggung pegal-pegal, dan perut keroncongan.

Sepanjang perjalanan ke Semarang, saya menghibur diri dengan mengurai kembali dalam benak, awal-awal mengakrabi Muhammad Zuhri. Beliau yang sabar menemani saya. Dan, jelas pula dalam menjelaskan konsep-konsep dogma.

"Silaturahmi itu apa ya, Pak Muh." Saat itu, saya menemani beliau dalam kegiatan menyantuni korban gempa Yogya tahun 2006.

"Silaturahmi," beliau menjawab, "merupakan buah dari rukun Islam. Shalat mengantar kita menjadi hamba Allah. Puasa menggiring kita mendapat rida Allah. Haji bakal menempatkan kita selalu dalam kesadaran amrullah, menunaikan perintah Allah."
"Wah, saya kok masih belum mudeng ya, Pak!"

"He-he-he...begini, silaturahmi adalah merajut kasih sayang. Hal itu mungkin, jika kita menjamah kenyataan sosial dengan niat yang ikhlas. Ikhlas adalah buah dari salat tatkala kita sanggup menginternalisasi kesadaran sebagai hamba Allah. Jadi sentuhlah realita dengan ikhlas, dengan tujuan menggapai rida Allah dan dengan cara yang ada perintahnya, yakni perintah Tuhan."

Begitulah, sekilas pengalaman menanggapi skenario Tuhan. Namun, terus terang saya masih kepayahan menghayati wejangan Muhammad Zuhri itu. Ya, berawal dari ikhlas. Berproses dengan 'bi amrillah'. Lantas berakhir meraih rida Tuhan. Huuh, tak gampang.

Ungaran, 01/10/2016: 01.53 (Supardi Kafha/Jentera)

Tidak ada komentar

Video

Video