Ramadhan: Jamuan Materialisme dan Seksualitas
ALLAH telah
memberi tuntunan kepada manusia berupa agama Islam, tentu sebagai pedoman hidup
(way of life) berupa al-Qur’an dan hadist mempunyai akar-akar yang
disebut dengan rukun Islam.
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (Al An’aam Ayat 153)
Salah satu kewajiban dalam menjalankan rukun Islam yaitu
mengerjakan puasa di bulan ramadhan. Kita harus menyadari bahwa tegak dan
robohnya Islam tergantung kepada pemeliharaan rukun-rukunnya.
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”. (QS.
Al-Baqarah: 183)
Maka dari itu puasa adalah sebuah kewajiban atas kaum muslimin,
karena didalamnya terkandung pendidikan yang sangat mulya. Disebutkan bahwa
puasa ditujukan kepada orang yang beriman supaya menjadi orang yang bertakwa.
Jadi sangat jelas bahwa tujuan tertinggi dalam melakukan ritual ibadah puasa
yaitu takwa.
Terkadang puasa hanya menjadi ekspresi tahunan yang diperingati
dengan kemewahan dan kemeriahan serta ada yang berangapan bahwa bulan puasa
tingkat komsumsi masyarakat meningkat dan harga kebutuhan pokok selalu mengalami kenaikan.
Maka kita harus mampu menyadari dalam memaknai puasa. Ada nilai lebih dari manfaat puasa selain
bagaimana memaknai menahan rasa lapar dan haus. Di perintahkan pula untuk menahan
nafsu.
Nilai pendidikan ruhaniyah, aqliyah dan amaliyah sangat tertanam
dalam ajaran ibadah puasa. Di dalam ajaran puasa dituntut untuk mensucikan diri
dari pikiran kotor dan nafsu al amarah. Begitu pula ajaran amaliyah lainya
berupa shalat tarawih, tadarusan bersama untuk menjalin ukhuwah Islamiyah, tali
sihlatuhrami dibangun dan dianjurakan untuk memberikan shedekah di bulan suci.
Karl Marx berpendapat bahwa pengendali moral manusia di
ditentukan oleh kondisi ekonomi berupa materi yaitu moral manusia ditentukan
oleh lingkungan yang mempengaruhinya Sifat manusia sama sekali tidak memiliki
daya dan upaya terhadap kondisi lingkungan.
Kondisi sekarang menunjukan bahwa kapitalisme telah menjajah
manusia yang cenderung bekerja pada wilayah material. Begitu pula Sigmund Freud
seorang ahli “psiko analisa”, yang menyatakan bahwa manusia sama sekali
tidak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya yaitu berupa kekuatan libido
atau kekuatan seksualitas. Semua aktifitas dan pikiran serta perilaku sesorang
bersumber pada dorongan kekuatan libido atau seksual.
Lalu bagaimana memahami materialisme dan
seksualitas ibadah puasa ramadhan terhadap makna orang beriman diwajibkan untuk
berpuasa untuk mencap derajat takwa?
Di sebutkan dalam al Qur’an surat Adz Dzariat ayat 56 :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Menyatakan bahwa manusia adalah seorang budak “abdun”
atau seseorang yang menyembah. Namun realitas menunjukan lain, sekarang manusia
telah menjadi budak ajaran Materialisme dan Seksualitas.
Mengingkari nikmat Allah
Swt, mereka saling berebut materi, jabatan, dan kekuasaan. Dan tidak
merasa memiliki kepuasan atas limpahan rizeki yang diterima, sehingga dalam
hatinya tidak memiliki kepuasan atas nikmat yang diterima. Manusia telah menjadi budak materi dan libido, kekuasaan
diperebutkan banyak orang berpolitik menjadi bendera untuk meraih derajat
tertinggi dimata manusia lainnya.
Begitu juga kekuatan libido menjadi dorongan kuat dalam
menguasai nafsu seseorang. Nafsu untuk saling menindas, rakyat miskin berupaya
keras mencari sedikit rizki namun di todong dengan mainan pistol Satpol PP.
Sedangkan para petinggi republik saling berebut kursi kekuasaan bahkan paling
parahnya para wakil rakyat ini bermesraan dengan pasangan selingkuhannya.
Sungguh malang negeri ini jika masih dipimpin oleh mental materialisme dan seksualitas.
Mengapa mentalitas sumber daya manusia (SDM) negeri ini tidak
cenderung keluar dari sarang material dan seksualitas, sedangkan Negara
tercinta ini masih saja membutuhkan
tetekan susu dari kekuatan asing.
Salah satu sebabnya yakni cara pandangan materialisme dan seksualitas yang cenderung menilai kebahagiaan berdasar materi dan kepuasan
sex yang kesemuanya itu terljalin sifat hedonistik.
Semua jawabannya yaitu pada kekuatan diri berupa “nafsu”.
Rasulullah telah mengajarkan kepada kita bahwa jihad paling besar yaitu “jihad
an nafs”, jihad melawan hawa nafsu atau melawan diri sendiri. Kekuatan
nafsu menjadi pendorong mentalitas seseorang sebab jika al hawa atau nafsu
al amarah menyerang diri seorang maka sifat jasmani dan ruhani manusia akan
lemah dan memiliki mentalitas korup.
Kekuatan pengendali manusia berupa nafsu inilah yang menjadi
senjata ampuh untuk mengikat keinginannya tehadap sifat meteri dan seksualitas.
Sebab dalam pandangan Marx dan Freud pengendali manusia berkerja pada wilayah
lingkungan yang cenderung kapital dan seksualitas atau libido terhadap
kekuasaan ataupun selingkuhannya.
Maka saatnya seorang yang menjalankan ibadah puasa ramadhan dan yang merasa dirinya beriman kepada Allah dan Rasulullah untuk dapat kembali menata nafsunya. Sesegera mungkin kembali kepada nafsu
mutmainah (jiwa yang tenang). Sebab puasa hanya di syari’atkan kepada
dirinya yang mengaku beriman.
Karena puasa merupakan pengendalian dirinya
dengan Tuhannya. Karena puasa tidak dapat dilakukan atas dasar penampilan,
kekuasaan materi, dan kekuatan libido.
Sangat jelas sekali bahwa syari’at Islam mengajarkan untuk
menahan diri dari segala hal yang dilarang dan bertujuan untuk meraih tingkatan
takwa. Orang yang mencapai derajat pada tingkatan takwa yaitu seseorang yang
terpelihara dari segala yang menjerumuskan atau segala hal yang dilarang oleh
agama.
Ibarat seseorang yang dalam perjalanan ia harus membawa bekal
dan tahu tujuan yang diharapkan.
Jadi agama menjadi bekal untuk mengarungi
kehidupan di dunia sebagai hamba guna meraih tujuan hidup yaitu kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Takwa berasal dari kalimat fi’il atau kata kerja “tattaquwn,
yattaquwn”, yang berarti melaksanakan seluruh hal yang diperintahkan dan
menjahui segala hal yang dilarang. Saatnyalah manusia kembali
mengkoreksi dirnya, siapa yang mengendalikan dirinya kekuatan material kah atau
kekuatan libido kah. Semua bentuk penindasan datang karena kekuatan material
dan seksualitas.
Maka mulai saat ini kembalilah kepada jiwa yang tenang kembali
pada tali Allah berupa agama Islam yang akan mengantarkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karena Allah menyukai dan mencintai orang yang taubat dan mensucikan
diri, bukan materi dan libido.
”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku.
Masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al-Fajr:
27-30). (JS/Lukni
Maulana)
Post a Comment