Header Ads

Kesalahan Saya Kepada Maman Suparman Cuman Satu

Oleh: Eko Tunas

Saya mengenal Maman Suparman -- sering saya sebut Man Superman -- di Taman Budaya Raden Saleh sekitar 1990-an. Seorang pria yang saat itu saya kira ketua TBRS - saat itu belum ada Dewan Kesenian Semarang (Dekase). Apalagi dia seniman serba bisa (teaterawan, penulis, perupa) -- satu hal yang ideal sebagai pimpinan Taman Budaya. Terlebih dia setiap hari di TBRS, dan tampaknya tinggal di TBRS -- tentu di kantornya.
Setiap kami bertemu dalam acara seni dia selalu menawari saya, "mampir, Mas..." Selalu dengan sikap menghormat, saya menjanjikan untuk next time saja. Tak lain karena terusterang saya punya trauma dengan kata kantor. Satu kata yang bernada ancaman kalau menjadi kalimat: anda terpaksa saya bawa ke kantor. Sebagaimana guyonan Soekamto Gulit: tak gowo kantor kowe! Maklum jaman orde baru, dibawa ke kantor polisi adalah penderitaan, dan saya memang pernah digowo kantor.

Pada gilirannya saya tak bisa mengelak tawaran Superman. Masuk ke..saat itu masih ada rumah bambu di tengah TBRS. Saya pun berpikir, apa ini kantor TBRS. Saat saya tanyakan hal itu Maman nyengir, lalu setengah meradang dia saat saya tanyakan: bukankan anda ketua TBRS. Ternyata dia memang seniman yang menjadikan TBRS sebagai rumahnya sekaligus taman berkreasinya. Dari kegiatan menulis, pentas teater, juga pameran lukisan.
Sejak itu kami menjadi akrab. Kami kerap ngobol sambil ngopi di warung ngisor ringin Mbak Margo. Mamanlah yang kemudian menerbitkan kumpulan puisi saya "Yang Terhormat Rakyat" yang bertema reformasi. Didiskusikan di kampus sastra Undip, juga dibacakan di Taman Budaya Surakarta dengan manajer Kotrek Tri Budiyanto.

Setelah itu Maman menerbitkan majalah budaya Ilalang. Redaksinya Maman, saya, Kotrek, Basa Basuki, Sopreh. Terbit dengan nasib seperti kalimat puisi Chairil Anwar: sekali sudah itu mati. Tak jera Maman kemudian menerbitkan tabloid berita Ungaran Pos. Redaksinya Maman, Kotrek, Ariyoko, dan saya sebagai pimpinan redaksi. Eh tanpa hujan tanpa angin, setelah dua kali terbit di edisi ketiga nama saya sudah tidak ada lagi di kolom struktur redaksi.

Ada saya merasa bersalah kepada Maman. Ialah saat saya mengelola kedai kopi Sanutoke. Maman acap datang, dan selalu minta kopi pakai gula Jawa. Satu malam permintaannya beda, dia minta kopi pakai gulabatu. Beruntung menurut Greg staf dapur gulabatu ada. Secangkir kopi dengan gulabatu di piring kecil pun terhidang. Mendadak Maman nyengir, "kok kecut?" Dia pun menjilat gulabatu itu, dan sontak meradang dia, "tawas..!"

Sampai saat berita tutup usianya sekali lagi saya mau minta maaf di makamnya soal gulabatu palsu itu. Tapi nahas tak bisa dihindari, hari itu saya terserang deare. Oh Tuhan, mengapa saya gagal melayat sahabat saya yang punya jasa besar terhadap saya. Saya tak habis bertanya, mengapa oh mengapa, kok ya saya mencret. Sampai kemudian atas kenakalan pergaulan kami saya berpikir: mungkinkah Maman mengirim tawas ke kopi saya..?

Tidak ada komentar

Video

Video