Header Ads

Sastra Bingung

Oleh: Eko Tunas*

Rasanya sudah lama sastra mendapat imbuhan. Sejak St Takdir sastra bertendens. Emha Ainun sastra independen. Ariel Heryanto sastra kontekstual. Tak kurang yang mengekstrimkan. Dari Remi Silado puisi mbeling hingga Lukni Maulana puisi kampungan. Atau yang heroik seperti Leak Sosiawan Puisi Menolak Korupsi. Kini Sastra Pelataran Agoes Dhewa mau mengangkat Sastra Pesantren. Menyusul mungkin sastra demo atau puisi makar.

Bagi saya sastra ya sastra yang di dalamnya sastrawan boleh (bicara) apa saja. La wong sampai sekarang yang namanya sastra itu sendiri kita masih bingung. Itu sebabnya dari Takdir sampai Lukni mau mengartikan sastra melalui imbuhan itu. Bagi Takdir sastra harus bertendens. Bagi Emha sastra mesti independen. Bagi Ariel sastra kudu kontekstual. Bagi Remi puisi musti mbeling. Itu kan bukti kebingungan sastrawan mengartikan sastra.

Okelah sastra itu satu nilai: sesuatu yang ditulis dengan rasa. Rasa yang bagaimana. Jean Paul Sartre pernah bilang: beauty is truth, truth is beauty: keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan. Ya, tapi keindahan yang bagaimana, kebenaran menurut siapa. Repot juga mengejawantahkannya. Begini saja keindahan ada di sana, kebenaran ada di sana, dan kita sedang berjalan ke sana.

Seperti pancasila kan ada di sana, dan kita tengah bergerak ke sana. Ke sesuatu yang ideal itu. Mengapa harus ada pancasila. Supaya kehidupan kita ada tujuan. Mengapa musti ada tujuan yang ideal. Sebabnya kehidupan yang kita jalani nggak ideal. Bahkan apa yang disebut keindahan dan kebenaran bertarung terus menerus. Jadi begini sajalah supaya ayem: sastra itu nilai. Titik. Nggak ada embel-embelnya.

Sip lah sastra itu institusi: kekuatan satu bangsa. Ini yang banyak tidak dipahami. Bahwa sastra itu sebagaimana institusi lain. Sebagaimana kekuatan di sektor politik, ekonomi, kebudayaan, dst. Dalam hal ini sebagai institusi sastra mempunyai kekuatan sama dengan politik, ekonomi, kebudayaan, dst. Tapi orang sering menganak-tirikan sastra. Tidak hanya politikus, ekonom, budayawan, sastrawannya sendiri kerap menganggap sastra sebagai klangenan semata.

Bahkan mereka bingung oleh ujaran John F Kennedy: politikus yang baik ialah mereka yang mengenal puisi. Lebih bingung atas sesanti Bung Karno: kalau politik kotor sastralah yang membersihkan.
Sampean bingung kan?

Saya juga, ha ha ! (pinjam bunyi puisi Sutardji Calzoum Bachri: Luka).

Bagaimana kalau kita bikin Sastra Bingung..?



* Eko Tunas; Seniman serba bisa; Budayawan, Monologer, Sastrawan

Tidak ada komentar

Video

Video