Halal bi halal: Spirit Kebudayaan dan Kemanusiaan
Oleh: Lukni Maulana*
SEBELUM gema bertakbir menjelang
malam hari raya idul fitri berbagai baliho terpampang di pinggiran jalan
bertuliskan ucapan selamat idul fitri dan permohonan maaf “minal aidin wal
faizin, mohon maaf lahir dan batin.” Begitupun beragam media cetak ataupun
elektronik, tidak ketinggalan jejaring media sosial ucapan selamat idul fitri
dan permohonan maaf tersebar baik melalui facebook, twitter, instagram, BBM,
maupun WA.
Ternyata ucapan tersebut menjadi
hiasan yang memiliki popularitas tinggi dan bahkan memiliki nilai pluralis. Ucapan
permohonan maaf sebagai bentuk dari keadaban yakni “halal bi halal” karena itu
hanya terjadi di bangsa Indonesia. Maka kita memiliki kebanggaan tersendiri
dengan kenusantaraan kita karena kita memiliki kebudayaan yang disebut halal bi
halal. Bahkan halal bi halal menjadi tradisi pertemuan antar keluarga besar,
organisasi, instansi pemerintahan maupuan komunitas.
Lalu siapakah pencetus tradisi halal
bi halal tersebut? Halal bi halal ternyata digagas oleh KH. Abdul Wahab
Chasbullah yang juga penggagas lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama. Begitupun KH.
Abdul Wahab Chasbullah merupakan pengasuh di pesantren Bahrul Ulum Tambakberas
Jombang, tempat di mana penulis menimba ilmu agama maupun umum.
Gagasan tentang halal bi halal
tidak terlepas oleh sebab bangsa Indonesia saat itu sedang dilanda disintegrasi
bangsa. Banyak para elit politik bertikai, beragam pemberontakan terjadi
seperti DI/TII dan PKI Madiun. Tepat pada tahun 1948 di pertengahan ramadhan,
Presiden Soekaro memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah ke istana negara. Bung Karno
meminta saran terkait situasi politik indonesia yang penuh dengan pergolakan
tersebut. lalu KH. Wahab Chasbullah memberikan saran untuk menyelenggarakan
acara silaturahmi. Namun Bung Karno meminta saran kembali, bahwa silaturahmi
merupakan istilah yang sudah umum, ia meminta saran lain.
Kemudian KH. Wahab Chasbulah
mengatakan, “Para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling
menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya tidak
punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja
untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehinga silaturahmi nanti kita
pakai istilah, “Halal bi Halal.”
Dalam hal ini tentu halal bi halal
menjadi kebudayaan dan tradisi dalam menyambung tali silaturahmi untuk duduk
bersama memecahkan penyelesaian masalah bersama “thalabu halaal bi tariiqin
halaal”. Begitupun halal bi halal menjadi bagian untuk saling pembebasan
kesalahan “halaal yujzau bi halaal.”
Jadi istilah halal bi halal yang
terkesan kearaban sebenarnya merupakan asli bangsa Indonesia. Istilah halal bi
halal dalam pengertiannya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
memiliki maksud maaf-memaafkan pada hari raya idul fitri.
Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa
kita adalah bangsa yang keberadaban, memiliki kearifan lokal yang terus dijaga
karena halal bi halal merupakan tradisi yang baik dan merupakan tuntunan agama
untuk meminta maaf jika kita memiliki kesalahan dan menjaga hubungan tali
silaturahmi. Dan ini hanya terjadi saat menjelang bulan syawal.
Halal bi halal terjadi pada bulan
syawal tepat awal hari raya idul fitri yang memiliki mana “kembali fitrah” atau
kembali suci, sebab manusia terlahir dalam keadaan putih dan bersih. Bisa jadi
halal bi halal dalam tendensi kebudayaan sekarang ini untuk kembali fitrah atau
suci ia harus meminta dan memberikan maaf oleh karena setiap manusia yang
terlahir suci akan tergores oleh lingkungannya yang belum tentu bersih.
Permohonan maaf dan silaturahmi
menjadi tendensi kebudayaan lokal bangsa indonesia yang merajut pada instansi,
organisasi, keluarga besar, maupun komunitas untuk menyelenggarakannya sebagai
pertemuan untuk menjalin keakraban dan permohonan maaf. Inilah metamorforse
ajaran islam tentang silaturahmi dan permohonan maaf yang kemudaian berlaku
secara universal menjadi ekspresi kebudayaan lokal yang hanya terjadi di bangsa
nusantara ini.
Untuk mengakhiri tulisan ini maka
selayaknya kita kembali bermuhasabah tentang kebudayaan lokal yang berwujud
halal bi halal ini. Pertama, permohonan maaf. Maka sepatutnya kita
merenungi diri, apakah kita memiliki kesalahan kepada sesama, atau tanpa
sengaja kita mengucapkan kata-kata yang melukai saudara kita baik melalui lidah
yang teramat ringan ini, maupun media sosial lainnya.
Kedua, silaturahmi. Menyambung persaudaraan
merupakan rasa kebersamaan dan persatuan kita, karena kita hidup berdampingan
atau berjamaah dengan beragam agama, suku, ras, maupun golongan. Tali silaturahmi
menjadi pengikat kita tentang makna bineka tunggal ika. Ketiga, tradisi
lokal. Sepatutnya kita menjaga tradisi ini, meski hanya terjadi pada bulan
syawal. Namun alangkah baiknya pemahaman ini tidak sebatas hanya pada bulan
syawal, karena jika kita punya salah saat itu, maka kita diperintahkan untuk
segera meminta maaf. Begitupun menjadi tali persaudaraan. Karena di dalam
tradisi halal bi halal ada spirit kebudayaan dan kemanusiaan yakni sebagai
sebuah tradisi yang lahir dari rahim untuk memecahkan masalah bersama, dan
kemanusiaan sebagai hubungan kita sebagaimana “khoirun naas anfauhum lin
naas” sebagai-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
* Lukni
Maulana; Ketua
Jentera Semesta Kota Semarang dan
Pimpinan
Redaksi Majalah BWNews Yayasan Badan Wakaf Nusantara.
Terima kasih, bersama menjalin tali persaudaraan dan untuk nusantara berbagi.
BalasHapus