Header Ads

Romi dan Film Istirahatlah Kata-Kata

Foto: Salah satu adegan film Istirahatlah Kata-Kata. Biografi Wiji Thukul
Romi dan film "Istirahatlah Kata-Kata" ('Solo, Solitude')

@Si Pon: Aku tidak ingin kamu pergi, aku juga tidak ingin kamu pulang, aku hanya ingin kamu ada...#

Saya nonton film "Istirahatlah Kata-Kata" (IKK) dibayari/bersama anak saya Romi Zahid Paningrome (kritikus film berblog zahidpaningrome.blogspot.com). Menurut Romi film tentang penyair Wiji Thukul ini di XXI Citra Land hanya dapat satu layar, artinya sekali tayang pada 14.10, 19/1/17. Nyatanya ditambah pada 18.15, dan besoknya masih ditambah lima layar. Saat kami nonton di layar pertama kursi penonton memang penuh hingga baris terdepan, kami saja di baris seri H pinggir. Saya lihat sebagian besar penonton muda, mahasiswa, orang-orang pergerakan yang saya kenal.

Sebagai penonton saya agak sial, sebab saya sangat mengenal Thukul, juga saya cukup kenal Gunawan Maryanto pemeran utama film ini. Saya jadi terombang-ambing antara menyaksikan sosok Gunawan dan figur Thukul ~ dua kawan yang amat berbeda karakter. Terlebih ini film (sepenggal) biografi Wiji Thukul. Terutama saat puisi-puisi Thukul dibacakan, saya dihinggapi nausea-blank: ini Wiji Thukul baca puisi atau Gunawan mereadingkan puisi-puisi penyair pelo itu. Puisi-puisi itu pun hanya lewat oleh ketidaksempurnaan tehnik-sound, kecuali satu puisi pendek yang jelas membekas: kemerdekaan ini seperti nasi/dimakan jadi tai..! Gilanya, Romi bisa tahu, ketidaksempurnaan itu tertolong oleh tehnik-backsound air sungai Kapuas, tangis bayi, suara motor, atau, suara siul Si Pon yang diperankan oleh Marissa Anita (presenter Net TV) yang bermain nature.

Menurut Romi, ada dua kelebihan Yosep Anggie Noen dalam menyutradarai film IKK. Pertama, Anggie piawai dalam hal Mise en scene (Prancis: pengaturan film sebagai bahasa gambar). Bagaimana artistik (setting, tata cahaya), pemain, angle kamera ~ dalam istilah sekarang disain produksi. Misalnya pengaturan saat Si Pon di dapur, Thukul di tangga kamar kayu, Thukul saat menghampiri ibu dengan bayi menangis, atau saat Thukul dkk minum tuak di kedai pinggir sungai Kapuas. Kelebihan kedua, Noen tangguh dalam membuat bahasa simbol: tentara gila yang push up digebyuri air, bahwa tentara di era itu ya seperti itu..mesti patuh dan siap terhadap segala perintah. Lalu simbol paling menakik yang dijadikan ending: kamera yang mengarah ke sepatu di raknya di balik tirai..ingat ini film pelarian (atau tepatnya: hilangnya) penyair Wiji Thukul. Lebih pasnya lagi, hasil riset mengatakan: Si Pon terakhir melihat suaminya pada saat itu..seperti digambarkan dalam adegan terakhir itu.

Secara content ini film sepotong biografi. Jadi memang mesti sesuai realita sang tokoh. Penulis skenario dan sutradara sedapat mungkin tidak mengurangi dan melebihkan. Itu sebabnya dalam film IKK Noen mengedepankan Thukul di sisi kemanusiaannya, atau lebih tepatnya sebagai manusia biasa. Dipertegas dengan banyak mengambil midle shot atau close up untuk adegan-adegan tokoh utama. Saat kami nonton beberapa adegan membuat penonton tertawa. Bahkan di akhir film penonton bertepuktangan, laiknya nonton panggung sandiwara. Ya, ini memang film drama, yang dibuat realis, dan, berkarakter khas filmaker Yogya.

Pada gilirannya kesimpulan Romi: sesuatu yang berkarakter bisa disukai, bisa juga tidak disuka... (Oleh: Eko Tunas)

Tidak ada komentar

Video

Video