Header Ads

Save TIM: Teater Gandrik Dinyatakan Tidak Penuhi Standar Artistik


PELARANGAN PENTAS TEATER GANDRIK DI TIM
~ Save Gandrik atau Save TIM ?

TEATER Gandrik dinyatakan tidak memenuhi kualitas pencapaian artistik. Pernyataan itu diberikan oleh lembaga kesenian terpercaya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Gandrik menerima surat dari DKJ, bertanggal: 18 Januari 2017, bernomor: 036/PH-DKJ/1/2017. Surat resmi itu ditandatangani ketua DKJ, Irawan Karseno. Itu sehubungan Gandrik mau pentas lakon terbarunya, "Hakim Sarmin". Satu lakon yang menurut dosen Teater Sendratasik Unesa, Dr Autar Abdillah, sangat fenomenal dan aktual.
Menurut Butet Kertaradjasa, saat rencana pentas itu DKJ minta pihaknya mengajukan proposal. Proposal diajukan, dengan menunjuk tempatnya di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB-TIM). Tapi menurut pihak DKJ, sebagai pengelola TIM, GBB penuh acara pada rencana jadual pentas Gandrik. Untuk itu dicari kemungkinan pentas di Gedung Teater Jakarta (GTJ). Menurut Unit Pengelola Tim (UPT), GTJ sudah lama kosong tidak ada acara.

Maka diajukan lagi permintaan pentas di GTJ, dan diterimalah surat itu sebagai tanggapan DKJ yang menimbulkan banyak tandatanya. Ini bunyi surat itu: Berdasarkan surat permohonan gedung untuk pertunjukan HAKIM SARMIN oleh Teater Gandrik. Dewan Kesenian Jakarta menilai bahwa acara ini tidak direkomendasikan untuk diselenggarakan di Gedung Teater Jakarta, namun lebih tepat di Gedung Graha Bhakti Budaya, karena secara kualitas belum memenuhi pencapaian artistik untuk pementasan di Gedung Teater Jakarta. Ttd, Irawan Karseno.

FASILITAS, KREATIFITAS
Secara prosedural saja surat ini membingungkan, Gandrik semacam dipingpong. GBB penuh, GTJ kosong, lantas dikatakan Gandrik tidak layak di GTJ tapi lebih cocok di GBB. Lagi, GTJ bersewa mahal, 80 juta sehari. Itu sebabnya dari pihak UPT, ketimbang kosong banyak disewa untuk show band, acara sekolah atau perguruan tinggi. Satu kebingungan lagi bagi kita, mengenai standar artistik bagi teater. Belum lagi bagi teater yang non profesional, terhadang oleh sewa gedung begitu tinggi. Terkesan teater dianak-tirikan, apalagi bagi kelompok teater nirlaba, terlebih nirpublik.

Mari kita udar kebingungan ini mulai dari yang mendasar: untuk apa GTJ dibangun. Dari jawaban paling bodoh, tentu saja untuk kehidupan teater. Lalu punya siapakah TIM, milik pemerintah. Di sini mestinya ada kejumbuhan, berdasar prinsip hubungan pemerintah dan seniman: seniman memberikan kreativitas setinggi-tingginya, pemerintah menyediakan fasilitas sebesar-besarnya. Untuk apa, ya jelas untuk kehidupan seni budaya. Untuk siapa, ya pasti untuk masyarakat. Tapi mengapa prinsip mendasar ini dinisbikan oleh perkara subyektifasi prosedural, dan pada gilirannya soal 'keuangan yang maha esa' ?

Baiklah, pemerintah telah menyediakan fasilitas berupa GTJ. Tentu dengan arsitektur dan teknologi canggih, representatif bagi pementasan teater. Giliran grup-grup teater mengejar kreatifitas maksimal. Jangan harap teater nirlaba bisa pentas di situ. Gandrik mampu membayar sewa gedung yang mahal itu. Meski, menurut Agus Noor, kalau jadi main di situ Gandrik mesti menentukan harga tiket dari 500 ribu hingga 1,5 juta rupiah. Tentu penonton nirkocek tidak mampu menonton lakon yang membela nasib mereka.

Toh Gandrik terhadang prosedur standar artistik itu. Nah mari kita urai mengenai standar artistik ini. Saya mesti menyebutnya sebagai ihwal artistik-aestetik, yang dasarnya ya kreativitas. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Ignas Kleden. Bahwa kreativias adalah integralisasi dari kreativitas konseptual dan kreativitas sosial. Kreativitas konseptual berpuncak pada ilmu-seni-filsafat. Kreativitas sosial dipuncaki politik. Secara content saya mempertanyakan kalau lakon Sarmin dikatakan tidak memenuhi standar kreativitas. Mosok kita meragukan kreativitas sastrawan seklas Agus Noor, yang dalam hal ini penulis lakon ini?

Kemudian secara form-bentuk mosok kita meragukan kreativitas artistik Gandrik. Satu kelompok teater yang bahkan memberi pengaruh kuat bagi dunia teater di negeri ini. Kekuatan dan pengaruh yang sebanding dengan Teater Gapit atau Teater Sae, dengan ciri artistik tersendiri dari masing-masingnya. Tentu tidak bisa dikatakan kekuatan yang satu lebih unggul dari kekuatan yang lain. Dr Autar Abdilah lanjut mengatakan: Gandrik adalah dinamika artistik dan estetik tersendiri dalam dunia teater Indonesia.

TEATER BINGUNG
Profesional atau sosial sebenarnya lebih ada pada soal pilihan. Masing-masing pilihan mesti saling menghargai. Gandrik, setelah melalui perjalanan panjang, telah menentukan jalan profesional. Di sini ada pertimbangan pasar, dengan dasar pilihan: seni mesti didudukkan sebagai sesuatu yang secara ekonomi bernilai tinggi dan berharga mahal. Kemasan atau pachaging mesti disesuaikan dengan 'selera' pasar. Disamping promosi, trademark hingga bintang, perlu dijadikan magnit bagi publiknya. Tak aneh pilihan panggungnya pun mesti bisa menjadi etalase pembuktian profesionalismenya itu.

Ini berbeda dengan teater dengan pilihan sosial -- sebutlah begitu. Di Semarang ada kelompok teater seangkatan Gandrik yang berada dalam pilihan ini, yakni Teater Lingkar. Selama puluhan tahun, teater yang lahir di kampung ini, melakukan pementasan dari kampung ke kampung atau pesantren. Semacam jemput bola, penonton Lingkar ya masyarakat kampung atau pesantren. Kalau mau pentas di TIM bisa dipastikan akan mengalami nasib seperti Gandrik: tidak memenuhi pencapaian artistik. Tapi bagi masyarakat umum artistik Lingkar sudah luarbiasa. Atau dengan bahasa mereka..nyeni, memiliki keindahan seni yang sangat jarang mereka dapati.

Dari aspek budaya sama, masing-masing menyampaikan 'sang seni' kepada masyarakat. Tinggi rendahnya klas masyarakat tidak bisa pula dijadikan klasifikasi artistik-estetik. Pun jumlah penonton tidak bisa dijadikan parameter apresiasi antara publik dan sang seni itu. Sebagai contoh, monolog saya yang saya mainkan di Stadion Internasional Maguwoharjo ditonton oleh 30-an ribu..pengungsi Merapi. Juga pergelaran wayang kulit Ki Enthus Susmono bisa memacetkan lalu-lintas kota. Tapi apakah itu semua bisa menjadi pembuktian sukses artistik-estetik plus keberlangsungan apresiasinya? Tentu ini sebuah proses keberlangsungan elan budaya sebagai institusi+nilai, dan inilah sebenarnya hakikat keber-ada-an seni.

Adalah aneh kala, atas info dari Ratna Riantiarno, persyaratan grup teater bisa pentas di GTJ ialah: pernah mengikuti festival di luar negeri. Urusannya apa luar negeri atau dalam negeri. Apa event luar negeri itu jaminan, dan acara di kampung itu satu kerendahan bahkan aib. Lalu mengapa Emha Ainun Nadjib plus Kiai Kanjeng yang tak terhitung pentas di luarnegeri, sebulan sekali pentas di TIM tidak di GBB apalagi di GTJ tapi di lapangan parkir TIM. Pun saya, kalau ingin pentas di TIM ya nggak usah ijin ke DKJ. Spontan saja main di jalanan TIM. Kalau digelandang Satpam ya ikut saja. Itu kan bagian dari pertunjukan, dan siapa tahu Pak Satpam ngasih saya segelas kopi. Kan asik, udud dulu..! (Oleh: Eko Tunas/Budayawan, Penasehat di Pondokbanjar)

Tidak ada komentar

Video

Video